I made this widget at MyFlashFetish.com.

Selasa, 27 September 2011

Kisah Thé Tjong-Khing (Purworejo, 1933

Peran Gambar dalam Buku Dongeng Anak: Kisah Thé Tjong-Khing (Purworejo, 1933), seorang ilustrator buku cerita anak-anak yang kondang di Belanda

Kala kita kecil dulu orang tua kita sering memberikan buku-buku cerita anak-anak yang isi halamannya tipis, tulisannya sedikit, sederhana dan mudah dimengerti oleh anak-anak. Hal terpenting selain itu semua adalah gambar-gambarnya yang menarik dan memancing imajinasi, sehingga anak-anak terpancing untuk membaca dan mengetahui isi bukunya. Orang tua kita dulu juga punya kebiasaan menceritakan dongeng sebelum kita tidur. Saat itu khayalan anak-anak terbang menjulang menembus batas-batas logika orang dewasa. Imajinasi anak-anak memang seringkali membumbung tinggi dan orang dewasa hanya bisa tersenyum dan berkomentar, “dasar anak-anak”. Lain ceritanya jika ada orang dewasa yang nekad terjun ke dunia anak-anak, melalui dongeng. Khing, sapaan akrab Thé Tjong-Khing, mungkin tidak dikenal anak-anak Indonesia. Kiprah beliau sebagai seorang pembuat ilustrasi buku cerita anak-anak berada jauh di Belanda. Gaya menggambarnya sangat digemari anak-anak di Belanda. Lantas seberapa jauh Khing mendalami dunia buku anak-anak ini?

Photobucket - Video and Image Hosting
Salah satu halaman pada Waar is de Taart?

Woutertje Pieterse Prijs, penghargaan tertinggi untuk buku cerita anak-anak (children literature) di Belanda, tahun 2005 ini dianugerahkan kepada buku berjudul “Waar is de Taart?” karya Thé Tjong-Khing. Penganugerahan penghargaan Woutertje Pieterse kali ini benar-benar mengejutkan, karena penghargaan yang biasa diberikan pada buku cerita baru pertama kali ini diberikan kepada sebuah buku yang hanya berisikan gambar-gambar, sama sekali tanpa kata-kata. Terlebih lagi, penghargaan yang biasanya diberikan kepada penulis, pertama kalinya diberikan kepada seorang ilustrator. Thé Tjong-Khing, yang memang sudah kondang sebagai ilustrator buku cerita anak-anak di Belanda, juga patut berbangga, sebab “Waar is de Taart?” adalah buku pertama yang ia garap sendiri, mulai dari ide, skenario, hingga pelaksanaannya. Yang menarik lagi bagi kita adalah latar belakang Thé Tjong-Khing, yang ternyata kelahiran Purworejo dan sempat mengecap pendidikan di akademi senirupa di Bandung (kini Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB), di mana kawan-kawan masa studinya banyak yang kita kenal sekarang, antara lain “Pak Raden” Soejadi, Prof. Sudjoko, dan (alm.) But Muchtar. Berikut adalah sekelumit kisah perjalanan karir Thé Tjong-Khing, yang akrab dengan panggilan Khing, sejak meninggalkan Indonesia dan mulai menetap di Belanda, hingga sekarang.

Photobucket - Video and Image Hosting
Khing (ketiga dari kiri, mengenakan topi) bersama teman2 kuliahnya dI Bandung. Paling kanan adalah 'Pak Raden' Soejadi

Photobucket - Video and Image Hosting
Khing (kanan depan) bersama teman2 kuliahnya di Bandung

Di usianya yang menjelang 72 tahun, Khing tampak masih enerjik dan penuh semangat, perilakunya yang ramah dan periang, dan rasa humor yang tinggi pastilah turut membuatnya awet muda. Sehari-harinya dihabiskan untuk bekerja di studionya, yang adalah juga rumah kediamannya di Haarlem. Sementara, di waktu senggangnya, Khing mengunjungi dan terkadang juga mengasuh keempat cucu balitanya, para buah hati dari kedua putranya yang tinggal di Amsterdam. Ketika dijumpai sore itu di kediamannya, Pak Khing tengah menggarap buku berikutnya, “Waar is de Taart?” seri kedua, dan ia dengan senang hati menunjukkan lembaran-lembaran gambar yang telah diselesaikannya. Sambil menikmati ‘jajanan pasar’ yang dihidangkan, Khing mulai menceritakan masa lalunya.

Photobucket - Video and Image Hosting
Thé Tjong-Khing, duduk santai di kediamannya

Si Khing kecil, pada usia sekitar 12 tahun, sudah berketetapan untuk mengisi hidupnya dengan menggambar. Pada awalnya, ia banyak meniru tokoh kartun Walt Disney, terutama Mickey Mouse dan Donald Duck, dan hasilnya sangat baik, hingga pernah suatu kali seorang pamannya mempertontonkan kemampuannya di depan banyak orang. Menginjak usia remaja, ia mulai menggambar bintang-bintang film masa itu, seperti Marilyn Monroe dan Sophia Loren, untuk diberikan kepada teman-temannya para pengagum para bintang film tsb. Kala itu Khing juga gemar membaca dan meniru cerita bergambar (cergam) “Flash Gordon” karya Alex Raymond. Mengingat kegemarannya menggambar, tidaklah heran ketika Khing memilih untuk melanjutkan studi di akademi senirupa di Bandung. Namun, karena Khing merasa tidak puas dengan apa yang diperolehnya di Bandung, ia pergi ke Belanda pada tahun 1956, dengan tekad untuk mencoba peruntungannya di sana. Ternyata pilihannya ini tidak keliru, sebab keberuntungan benar-benar datang kepadanya, di setiap saat ia memerlukannya.

Photobucket - Video and Image Hosting
Salah satu halaman pada seri Arman & Ilva

Setiba di Belanda, Khing memulai studinya di jurusan periklanan di Kunstnijverheidsschool (kini Rietveld Academie) di Amsterdam. Namun di sini pun ia tidak betah dan keluar sebelum menyelesaikan studinya. Ia melamar kerja di Marten Toonder Studio, yang pada masa itu termasuk studio komik terbesar di Belanda (cergam Toonder yang paling terkenal berjudul “Tom Poes en Heer Bommel”), dengan menunjukkan portfolio hasil karyanya selama ia belajar di Bandung. Meskipun lamarannya ditolak, Khing tetap memohon pada Marten Toonder agar diperbolehkan tinggal di studionya, hanya dengan satu meja dan kursi, untuk bekerja apapun, tanpa bayaran. Di sini keberuntungan pertama Khing datang: studio Toonder mengabulkan permohonannya ini, dan bukan hanya meja-kursi yang mereka sediakan, namun mereka juga membayar Khing sejumlah 60 Gulden per minggu, yang pada masa itu adalah jumlah yang cukup besar untuk seorang pemagang.
Khing banyak belajar sambil membantu para karyawan gambar (draftsmen) di studio Toonder. Ia melihat bahwa seorang karyawan gambar di studio Toonder, yang bekerja membuat cergam bersambung untuk sebuah harian, selalu terpaksa membawa pulang pekerjaannya. Khing tahu bahwa istri si karyawan tersebut sebenarnya keberatan dengan kebiasaannya ini, namun mereka tak punya pilihan lain. Khing pun menawarkan jasanya untuk membantu koleganya ini sehingga ia dapat berakhir-pekan dengan keluarganya tanpa dibebani pekerjaan. Lama kelamaan, si kolega ini tak mau kehilangan Khing sebagai asistennya. Inilah yang sebenarnya direncanakan oleh Khing, untuk memperoleh cara agar dapat tetap tinggal di Belanda setelah masa ijin tinggalnya habis. Sehingga ketika polisi imigrasi Belanda hendak menggiring Khing ke pelabuhan untuk dipulangkan ke Indonesia, studio Toonder berhasil mencegah kepergian Khing dengan menyatakan pada polisi imigrasi bahwa Khing adalah pegawai mereka, tanggung jawab mereka. Sejak itu resmilah Khing menjadi pegawai di Toonder Studio.

Setelah beberapa lama bekerja untuk Toonder Studio, Khing memutuskan untuk keluar dan membuat komiknya sendiri. Ini adalah masa ketika ia memulai cergam fiksi-fantasi berserinya, bersama penulis bernama Lo Hartog van Banda, untuk dimuat dalam surat kabar. Seri fiksi-fantasi berjudul “Arman & Ilva” ini kemudian diterbitkan sebagai album cergam, dan memperoleh penghargaan SFAN (Vereniging voor Science Fiction & Fantasy) pada tahun 1971. Di tengah-tengah penggarapan cergam ini, Khing berpikir untuk mengerjakan hal lain, seperti ilustrasi. Di sinilah keberuntungan datang lagi padanya. Ia bertemu seseorang di sebuah pesta: Ton Schelling, seorang penulis buku cerita anak-anak. Kebetulan penulis ini berdarah campuran Indonesia-Belanda, dan dikenal sebagai orang yang sangat impulsif. Ia begitu senang bertemu dengan seorang yang juga berasal dari Indonesia dan pandai menggambar, sehingga dengan segera ia menawarkan Khing untuk menjadi ilustrator buku-bukunya. Khing segera menerima tawarannya dan mereka mulai bekerja sama. Tulisan-tulisan Schelling merupakan seri petualangan untuk anak muda, dan gaya gambar Khing pada buku-buku Schelling merupakan transisi dari gaya cergam fiksi-fantasi menjadi gaya ilustrasi untuk buku cerita. Sementara bekerja dengan Schelling, Khing masih menyelesaikan seri "Arman & Ilva“, namun baginya pembuatan cergam dirasanya terlalu banyak memakan waktu dan terlalu monoton. Sehingga Khing memutuskan untuk meninggalkan komik untuk beralih ke ilustrasi, menghadapi tantangan baru.

Photobucket - Video and Image Hosting
Salah satu halaman pada seri Arman & Ilva

Tepat pada saatnya, Khing menemukan keberuntungannya yang berikut, yang membawanya ke gaya gambar yang merupakan ciri khasnya hingga kini. Ia dihubungi oleh seorang penulis buku anak-anak yang hendak mengubah anggapan bahwa cergam atau komik hanyalah membuat anak-anak bodoh. Untuk mengubah anggapan ini, si penulis berencana mengambil ilustrator yang adalah juga komikus, dan pilihannya jatuh pada Khing. Semua keberuntungan ini, dilihat Khing juga dibantu oleh fakta bahwa pada masa itu belum banyak orang yang sepenuhnya bekerja sebagai praktisi ilustrator atau komikus profesional, dan gaya dan teknik menggambar pun masih terbatas, sehingga mempermudah Khing memperoleh berbagai kesempatan tersebut. Sejak beralih dari komik ke ilustrasi, hingga kini Khing tetap menekuni profesi sebagai ilustrator dan belum membuat komik lagi. Namun namanya tetap diaku sebagai salah seorang tokoh penting dalam sejarah komik Belanda.

Khing telah mendapat beberapa penghargaan tertinggi untuk ilustrasi, antara lain Gouden Penseel yang diperolehnya sebanyak tiga kali: pada th 1978 (untuk buku berjudul "Wiele Wiele Stap“), 1985 ("Kleine Sofie en Lange Wapper“) dan 2003 ("Het woordenboek van Vos en Haas“), Jonge Uil pada sekitar th 1999 untuk "Vos en Haas“ dan puncaknya adalah Wouterje Pieterse Prijs untuk "Waar is de Taart?“ pada tahun 2005. Khing mengakui bahwa "Waar is de Taart?“ merupakan karyanya yang paling memuaskan dan adalah prestasinya yang tertinggi, namun ia juga sangat menyukai karyanya pada buku "Het Grote Avontuur van God en Mens“ (2004), yang berisi kisah-kisah dari alkitab untuk anak-anak.
Dari sekian banyak karya Khing, hanya satu yang menghubungkannya kembali ke Indonesia. Khing pernah bekerja sama dengan Fair Trade untuk membuat buku anak-anak berjudul "Komkommermeisje“ (2003) yang merupakan adaptasi dari kisah "Timun Mas“. Buku ini diterbitkan oleh Fair Trade dalam rangka mempromosikan produk kerajinan dari negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Khing dengan sendirinya terpilih untuk menggarap buku ini karena reputasi sekaligus latar belakangnya. Impresi hutan yang rimbun dan pohon beringin raksasa Khing dapatkan dari pengalamannya kala masih bocah dulu, di rumah orang tuanya di Cirebon.

Photobucket - Video and Image Hosting
Beringin raksasa pada buku Komkommermeisje (Timun Mas)
Di samping menggambar komik dan ilustrasi, Khing sempat mencoba mengerjakan hal-hal lain. Pada sekitar tahun 1980an, Khing sempat diminta untuk mengajar di jurusan ilustrasi pada Rietveld Academie di Amsterdam. Ia mencoba mengajar selama beberapa saat, namun segera mengundurkan diri karena menyadari bahwa ia tidak memiliki ketrampilan untuk mengajar dan merasa tak bisa menjadi guru yang baik. Sejak itu ia memutuskan untuk terus memproduksi gambar saja, dan tidak lagi hendak mengajar.
Setelah menggarap ilustrasi untuk sekian banyak buku dan skenario, Khing sempat tergoda untuk menulis cerita sendiri. Terutama saat ia menerima sebuah transkrip dari salah satu penerbitnya untuk dibuatkan ilustrasi, yang dianggapnya sangat buruk, sehingga makin memotivasinya untuk membuat transkrip yang lebih menarik dari yang satu ini. Khing menulis selama beberapa bulan dan setelah selesai, ia merasa puas akan tulisannya. Namun ketika ia baca kembali teksnya setelah sekian lama, ia menyadari bahwa tulisannya jauh lebih buruk dari transkrip yang pernah ia terima dari penerbitnya. Khing pernah mencoba menulis sekali lagi, namun tetap saja gagal. Hal ini juga yang memotivasinya untuk membuat buku tanpa kata-kata; inilah awal dari ide pembuatan buku "Waar is de Taart?“.
Hal yang paling menantang dari pembuatan buku tanpa kata-kata adalah kejelasan gambar dalam menceritakan sebab-akibat dan kesinambungan. Khing telah berhasil mewujudkan hal ini, mengingat pendapat juri Woutertje Pieterse Prijs bahwa buku ini telah dapat menceritakan semuanya dengan baik, tanpa kehilangan satu kata pun. Dengan buku "Waar is de Taart?“, Khing juga hendak membuat pembacanya membolak-balik halaman, dari belakang ke depan, dan sebaliknya, dan seterusnya, untuk menemukan sekian banyak sekuel cerita yang disampaikannya melalui gambar. Hal ini pun telah tercapai dengan baik, melihat begitu banyaknya detail menarik yang dapat dilacak dari tiap halaman dalam bukunya ini.

Photobucket - Video and Image Hosting
Tokoh2 pada buku Vos en Haas, yg telah banyak dikenal anak2 Belanda

Hingga kini, Khing masih terlihat selalu cekatan dan bersemangat dalam menggarap karya-karyanya, dan mewujudkan rencana-rencananya. Kecintaannya pada pekerjaan dan sikap positifnya dapat menjadi contoh yang berharga bagi para penerusnya. Berbagai penghargaan yang diterimanya tidak membuatnya besar kepala, bahkan sebaliknya, makin memacunya untuk terus menghasilkan yang terbaik.
Khing mengakui bahwa dalam usianya kini, produktivitasnya menurun. Ia tak dapat lagi begadang menyelesaikan gambar, atau bekerja hingga larut malam, dan ia hanya dapat bekerja dengan baik dengan cahaya natural, bukan cahaya lampu. Namun demikian, bila ditanya apa yang membuatnya terus produktif hingga kini, Khing hanya tertawa dan menjawab "Sebab saya tidak tahu berbuat apa lagi selain menggambar. Mungkin saya hanya akan duduk berdiam diri di pojok sana, sebab tak tahu mau berbuat apa lagi. Jadi selama masih bisa menggambar, saya akan tetap melakukan itu“.

Photobucket - Video and Image Hosting
Menara Babel

Kita bisa belajar banyak dari kisah perjalanan karir Khing. Semangat dan ketekunannya dapat menjadi inspirasi bagi banyak ilustrator muda, tidak hanya di Belanda, namun juga kita di Indonesia. Terutama untuk memperbaiki kualitas dan kuantitas buku cerita anak-anak produksi dalam negri, yang perkembangannya tidak terlalu pesat – apalagi bila dibandingkan dengan limpahan seri komik impor atau computer game terbaru.
Sikap Khing yang pantang menyerah juga patut menjadi contoh. Di kala terbentur masalah, atau berniat menghadapi tantangan baru, Khing selalu bertekad mencari jalan keluar dengan mengandalkan segenap kemampuannya. Usaha Khing ini juga tidak sia-sia, mengingat besarnya perhatian dan dukungan dari berbagai pihak untuk mengadakan wacana bagi anak-anak: orang tua, pemerintah, penerbit, berbagai institusi, dan yang terpenting, anak-anak sendiri.
Mengagumkan, memang, bahwa di negara maju seperti Belanda, di mana berbagai macam media dapat diakses dengan bebas, buku cerita anak-anak masih mendapat tempat khusus. Salah satu hasilnya adalah fakta bahwa anak-anak Belanda menduduki peringkat kedua di dunia (setelah Swedia) sebagai anak-anak yang paling 'melek huruf’ (literate). Anak-anak yang suka dan pandai membaca tentulah cikal bakal orang dewasa yang cerdas dan berkualitas; tentu hal ini lah yang juga kita inginkan dari generasi penerus kita.


Tita, September 2005

Tidak ada komentar:

Posting Komentar