Tersebutlah
dua orang jagoan yang selalu ingin menunjukkan dirinya lebih jago dari
yang lain. Pada suatu hari, mereka bertemu di perairan sebelah selatan
Singapura.
Tanpa
ba atau bu, mereka langsung saling menyerang. Mereka bertarung lama
sekali hingga tubuh mereka bersimbah darah. Karena sama-sama kuat, tak
ada tanda-tanda siapa yang akan kalah.
Jin
Laut tidak suka dengan pertarungan itu karena darah mereka mengotori
laut. Jin Laut lalu menjungkirbalikkan perahu mereka. Maksudnya agar
mereka berhenti bertarung. Ternyata, mereka tetap bertarung. Dengan
kesaktiannya masing-masing, mereka bertarung di atas air.
“Hei, aku perintahkan kalian berhenti beratarung! Ini wilayah kekuasaanku. Kalau tidak…”
Bukannya berhenti, kedua jagoan itu malah bertempur lebih seru. Dengan isyarat tangan, mereka bahkan seperti mengejek Jin Laut.
Jin
Laut marah. Dia menyemburkan air ke wajah kedua jagoan itu sehingga
pandangan mereka terhalang. Karena tak dapat melihat dengan jelas, kedua
jagoan itu bertempur secara membabi-buta. Mereka mengayunkan pedang ke
sana-kemari sekehendajk hati sampai akhirnya bersarang di tubuh lawan
masing-masing. Kedua jagoan itu pun menemui ajalnya.
Para
dewa di kayangan mura karena Jin Laut turut campur urusan manusia.
Mereka memperingatkan Jin Laut untuk tidak lagi ikut campur urusan
manusia. Jin Laut mengaku salah dan mencoba menebus dosa dengan
membuatkan tempat khusus agar roh kedua jagoan itu dapat bersemayam
dengan tenang. Jin Laut menyulap sampan yang ditumpangi kedua jagoan itu
menjadi pulau tempat bersemayam roh mereka. Orang-orang kemudian
menyebut pulau itu sebagai Pulau Hantu.
(Dari ASEAN Folk Literature, diceritakan kembali oleh Prih Suharto, prih_suharto @yahoo. com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar